Sejarah Kepala
Indaruk
Konon dulunya di daerah Kalimantan Selatan ada cerita rakyat mengenai asal usul kepala indaruk yang hingga kini masih dilaksanakan oleh sebagian orang di Desa Sungai Ular. Awalnya sepasang suami istri pergi ke sebuah Lubuk (Lubuk Tatau). Panggilannya Mamak emon dan Abah Emon (sebutan untuk orang tua Emon). Mereka menangguk ikan untuk dijadikan lauk makan, tetapi bukannya ikan yang didapat, mereka menemukan sebuah telur besar. Mereka langsung membuangnya, menangguk lagi masih saja mendapatkan telur yang tadi telah dibuang, setelah itu mereka membuang telur yang mereka temukan kedua kalinya, dalam tanggukan ketiga mereka menemukan telur yang mereka buang tadi. Hingga akhirnya kedua pasangan tersebut kesal dan membawa pulang telur sebesar kelapa tersebut.
Mereka rebus telur itu untuk dimakan, setelah dimakan mereka berniat untuk tidur siang kedalam kelambu. Mamak Emon berkata “kenapa pelihatan ku ini habang hijau melihat andika !!”, Abah Emon pun berkata “Ulun jua, pelihatan habang hijau malihat andika bersisik”. Merasakan perubahan kedua orang tua Emon ini memanggil anaknya si Emon dan mengatakan kejadiannya sebelum mereka berubah menjadi sepasang Naga besar. Mereka meminta sebuah permintaan kepada Emon untuk menebangkan kayu memalik dan kayu berunai untuk dipasangkan di dekat tangga. Emon mencarikan kayu yang di pinta oleh kedua orang tuanya, kayu tersebut ternyata untuk jalan mereka turun menuju ke sungai. Kedua pasang Naga turun kesungai dan berpesan kepada anaknya Emon, jika Emon rindu dan ingin bertemu orang tuanya bawalah beratih, bersama nasi pulut kuning dan telur untuk ditaburi di Sungai dimana kedua orang tuanya turun jika si Emon ingin berjumpa kedua orang tuanya. Inilah awal kisah kepala indaruk, sebelum ritual kepala indaruk maka akan ada acara pengambilan Banyu Hadus di sungai untuk memperingati Nenek moyang (orang tua Emon).
· Kepala Indaruk
Kepala indaruk merupakan acara adat/tradisi turun temurun sebagian masyarakat Banjar yang diadakan disaat hajatan Pernikahan di Desa Sungai Ular, tidak semua orang yang ingin mengadakan pernikahan menggunakan acara ini, hanya sebagian orang saja/yang memiliki keturunan saja dari orang tuanya sehingga dapat melaksanakan ritual adat tersebut. Kepala indaruk dianggap penyakit, karena harus di turunkan kepada generasi-generasi penerus yang melaksanakan pernikahan.
Masa kini di Desa Sungai Ular sebelum acara kepala indaruk dilaksanakan, maka akan ada prosesi pengambilan Banyu Hadus, mengambil Banyu Hadus harus membawa sesajian ke Sungai, sajinya tersebut antara lain cengkaruk kacak, cengkaruk bahambur, pulut kuning, hintaluk, baras kuning dan beratih. air yang sudah diambil di dalam tembikar dibawa pulang untuk dimandikan kepada pengantin disaat Bepapai pasca acara Kepala Indaruk selesai agar roh nenek moyang tidak mengganggu pengantin.
Diungkapkan pula oleh Nekek Arsanah (wawancara), yakni “zaman bahari Nenek Saya ada keturunan meneruskan Kepala Indaruk, tetapi sudah Nenek Saya buang ke Sungai, nenek Saya takut meneruskan tradisi ini. Lalu beliau buanglah segala perlengkapan Kepala Indaruk seperti payung kuning, baju kuning, tilam kuning, lancang kuning, pokoknya semua peralatan yang berwarna kuning nenek Saya buang ke Sungai haung kerah laut, biar hilang, biar gak ada lagi diminta-minta sama kami”.
Sebelum mengadakan acara Kepala indaruk esok harinya, dimalam hari sebelum resepsi maka akan dilaksanakan acara adat yaitu Beundur Bemarak (pertemuan kedua Pengantin), hampir mirip dengan acara Kepala Indaruk dengan sesajian-sesajian yang sama bedanya disini Beundur Bemarak diadakan di malam hari sedangkan Kepala Indaruk di siang harinya.
Ungkapan lain dari Nek Diang mengenai tradisi Kepala Indaruk (wawancara), yaitu “Kepala Indaruk dilaksanakan atas perintaan roh-roh nenek moyang. Sebelum acara dimulai yang perlu disiapkan untuk menjadi sesajian adalah Nasi pulut kuning, nasi pulut putih, hintaluk (telur), jari lima/ tapak tangan (kue keras berbentuk bulat jarring-jaring berwarna merah, hijau, putih, kuning, merah jambu), beratih (beras pulut yang di sangrai/corn pulut), lamang (lemang), bubur putih, bubur habang (bubur merah) sepiring-sepiring, gegauk, cengkaruk kacak, cengkaruk bahambur, dodol, banyu hadus, pisang, tapai (tape), niur (kelapa), banyu kinca (air santai pakai gula merah), baras kuning (pakai kunyit) dan wajik. Sesaji ini tidak boleh kurang macamnya, karena roh akan meminta lagi. Sesaji untuk Kepala Indaruk berbeda dengan yang ada di dalam kelambu,kalau di dalam kelambu antara lain bubur putih, bubur habang, pulut putih pakai hintaluk dan pulut habang pakai hintaluk.
Roh-roh dipanggil (dari Banjar Kalua/roh-roh keturunan Raja) untuk menghadiri Kepala Indaruk yang mereka pinta. Kedua kepala Naga terbuat dari tempalau nipah yang dibaluti dan dihias menggunakan kertas berwarna, nipah dibentuk menyerupai kepala Naga untuk digabungkan dengan tubuh Naga yang terbuat dari pelepah kelapa sebagai lapisan tubuh naga dan kain sebagai balutan untuk leher naga. Naga jantan dapat dilihat dari janggutnya, dan Naga betina tidak menggunakan janggut. Didalam mulut Naga yang menganga juga diletakkan sesajian berupa nasi pulut kuning beserta telur.
Saat alat musik dialunkan bersama gempulan asap kemenyan, saat itu pula Kepala Indaruk di mulai. Dengan diiringi masyarakat yang berjatuhan, mereka kerasukan, menari-nari, menjerit-jerit, memakan sesajian, memegang tombak, sambil mengelilingi kepala Naga. Sedangkan Pengantin di gendong, diletakkan di atas bahu mengelilingi Naga dengan di payungi oleh orang tua. Setelah puas mereka menari, bermain kucing-kucingan, maka acara yang paling menegangkan adalah ketika tubuh Naga di panjat oleh oaring-orang yang kerasukan secara bergantian untuk dihancurkan. Kepala Naga di pukul-pukul hingga hancur dan tubuh Naga ambruk. Naga dihancurkan agar tidak hidup. Konon, Naga yang tidak di musnahkan, maka ia akan hidup, membuka matanya untuk mengganggu keluarga pengantin. Saat inilah acara Kepala Indaruk berakhir yang dilanjutkan dengan Mandi Bepapai. Pengantin dimandikan dengan Banyu Hadus yang telah diambil pada saat pengambilan Banyu Hadus. Kedua pengantin dimandikan dengan air kelapa menggunakan pelepah pinang yang di ukir hingga menyerupai gigi-gigi naga.
Orang-orang yang kerasukan di tepung tawari untuk memulangkan roh-roh yang merasuki mereka. Air tepung tawar terdiri dari bunga tujuh rupa, kunyit, kencur yang di campur dengan minyak nyonyong, dirajah/dipercikan kepada orang-orang yang kerasukan hingga mereka tersadar.
Nek Sainah (wawancara) menuturkan berdasarkan pengalamannya, yakni “menikah pada masa Saya ada hiburan tradisionalnya yang sekarang ini sudah tidak ada lagi di temukan yaitu Ketoprak Banjar”. Mengenai kapan orang tua Nek Sainah bermigran ke Desa Sungai Ular, Beliau mengatakan “Kakeknya H. Ibrahim dan Neneknya Hj. Diang Cantung datang ke Desa Sungai Ular karena adanya terjadi Perang Banjar di Banjar (Kalimantan Selatan), dulu mereka menyebut Kalimantan Selatan dengan sebutan Tanah Banjar. Nenek Saya datang membawa anak-anaknya yaitu Usra, Anang, Yunan, Jalani, Iran dan Ibunya Jumiah. Mengenai tahunnya, Saya tidak tahu tahun berapa mereka pindah kesini, tetapi Saya masih ingat rumah mereka dulu adanya di pinggir Sungai yang terbuat dari kayu ulin, kayu yang sangat kuat yang mereka bawa dari tanah Banjar”.
Saat ini terhitung, dari awal kedatangan Neneknya bersama orang tuanya sudah sampai generasi ke-6, tercatat dari awal kedatangan neneknya sampai cicitnya sekarang.
Beliau bercerita, awal dari kata Sungai Ular untuk Desa ini adalah “ketika itu ada ular besar di sungai sewaktu seseorang mencari kayu. Lalu ularnya di pukul hingga jatuh dan berenang mengikuti kelokan sungai yang memanjang ke arah laut. Hingga Desa ini di sebut sebagai Desa Sungai Ular”
Konon dulunya di daerah Kalimantan Selatan ada cerita rakyat mengenai asal usul kepala indaruk yang hingga kini masih dilaksanakan oleh sebagian orang di Desa Sungai Ular. Awalnya sepasang suami istri pergi ke sebuah Lubuk (Lubuk Tatau). Panggilannya Mamak emon dan Abah Emon (sebutan untuk orang tua Emon). Mereka menangguk ikan untuk dijadikan lauk makan, tetapi bukannya ikan yang didapat, mereka menemukan sebuah telur besar. Mereka langsung membuangnya, menangguk lagi masih saja mendapatkan telur yang tadi telah dibuang, setelah itu mereka membuang telur yang mereka temukan kedua kalinya, dalam tanggukan ketiga mereka menemukan telur yang mereka buang tadi. Hingga akhirnya kedua pasangan tersebut kesal dan membawa pulang telur sebesar kelapa tersebut.
Mereka rebus telur itu untuk dimakan, setelah dimakan mereka berniat untuk tidur siang kedalam kelambu. Mamak Emon berkata “kenapa pelihatan ku ini habang hijau melihat andika !!”, Abah Emon pun berkata “Ulun jua, pelihatan habang hijau malihat andika bersisik”. Merasakan perubahan kedua orang tua Emon ini memanggil anaknya si Emon dan mengatakan kejadiannya sebelum mereka berubah menjadi sepasang Naga besar. Mereka meminta sebuah permintaan kepada Emon untuk menebangkan kayu memalik dan kayu berunai untuk dipasangkan di dekat tangga. Emon mencarikan kayu yang di pinta oleh kedua orang tuanya, kayu tersebut ternyata untuk jalan mereka turun menuju ke sungai. Kedua pasang Naga turun kesungai dan berpesan kepada anaknya Emon, jika Emon rindu dan ingin bertemu orang tuanya bawalah beratih, bersama nasi pulut kuning dan telur untuk ditaburi di Sungai dimana kedua orang tuanya turun jika si Emon ingin berjumpa kedua orang tuanya. Inilah awal kisah kepala indaruk, sebelum ritual kepala indaruk maka akan ada acara pengambilan Banyu Hadus di sungai untuk memperingati Nenek moyang (orang tua Emon).
· Kepala Indaruk
Kepala indaruk merupakan acara adat/tradisi turun temurun sebagian masyarakat Banjar yang diadakan disaat hajatan Pernikahan di Desa Sungai Ular, tidak semua orang yang ingin mengadakan pernikahan menggunakan acara ini, hanya sebagian orang saja/yang memiliki keturunan saja dari orang tuanya sehingga dapat melaksanakan ritual adat tersebut. Kepala indaruk dianggap penyakit, karena harus di turunkan kepada generasi-generasi penerus yang melaksanakan pernikahan.
Masa kini di Desa Sungai Ular sebelum acara kepala indaruk dilaksanakan, maka akan ada prosesi pengambilan Banyu Hadus, mengambil Banyu Hadus harus membawa sesajian ke Sungai, sajinya tersebut antara lain cengkaruk kacak, cengkaruk bahambur, pulut kuning, hintaluk, baras kuning dan beratih. air yang sudah diambil di dalam tembikar dibawa pulang untuk dimandikan kepada pengantin disaat Bepapai pasca acara Kepala Indaruk selesai agar roh nenek moyang tidak mengganggu pengantin.
Diungkapkan pula oleh Nekek Arsanah (wawancara), yakni “zaman bahari Nenek Saya ada keturunan meneruskan Kepala Indaruk, tetapi sudah Nenek Saya buang ke Sungai, nenek Saya takut meneruskan tradisi ini. Lalu beliau buanglah segala perlengkapan Kepala Indaruk seperti payung kuning, baju kuning, tilam kuning, lancang kuning, pokoknya semua peralatan yang berwarna kuning nenek Saya buang ke Sungai haung kerah laut, biar hilang, biar gak ada lagi diminta-minta sama kami”.
Sebelum mengadakan acara Kepala indaruk esok harinya, dimalam hari sebelum resepsi maka akan dilaksanakan acara adat yaitu Beundur Bemarak (pertemuan kedua Pengantin), hampir mirip dengan acara Kepala Indaruk dengan sesajian-sesajian yang sama bedanya disini Beundur Bemarak diadakan di malam hari sedangkan Kepala Indaruk di siang harinya.
Ungkapan lain dari Nek Diang mengenai tradisi Kepala Indaruk (wawancara), yaitu “Kepala Indaruk dilaksanakan atas perintaan roh-roh nenek moyang. Sebelum acara dimulai yang perlu disiapkan untuk menjadi sesajian adalah Nasi pulut kuning, nasi pulut putih, hintaluk (telur), jari lima/ tapak tangan (kue keras berbentuk bulat jarring-jaring berwarna merah, hijau, putih, kuning, merah jambu), beratih (beras pulut yang di sangrai/corn pulut), lamang (lemang), bubur putih, bubur habang (bubur merah) sepiring-sepiring, gegauk, cengkaruk kacak, cengkaruk bahambur, dodol, banyu hadus, pisang, tapai (tape), niur (kelapa), banyu kinca (air santai pakai gula merah), baras kuning (pakai kunyit) dan wajik. Sesaji ini tidak boleh kurang macamnya, karena roh akan meminta lagi. Sesaji untuk Kepala Indaruk berbeda dengan yang ada di dalam kelambu,kalau di dalam kelambu antara lain bubur putih, bubur habang, pulut putih pakai hintaluk dan pulut habang pakai hintaluk.
Roh-roh dipanggil (dari Banjar Kalua/roh-roh keturunan Raja) untuk menghadiri Kepala Indaruk yang mereka pinta. Kedua kepala Naga terbuat dari tempalau nipah yang dibaluti dan dihias menggunakan kertas berwarna, nipah dibentuk menyerupai kepala Naga untuk digabungkan dengan tubuh Naga yang terbuat dari pelepah kelapa sebagai lapisan tubuh naga dan kain sebagai balutan untuk leher naga. Naga jantan dapat dilihat dari janggutnya, dan Naga betina tidak menggunakan janggut. Didalam mulut Naga yang menganga juga diletakkan sesajian berupa nasi pulut kuning beserta telur.
Saat alat musik dialunkan bersama gempulan asap kemenyan, saat itu pula Kepala Indaruk di mulai. Dengan diiringi masyarakat yang berjatuhan, mereka kerasukan, menari-nari, menjerit-jerit, memakan sesajian, memegang tombak, sambil mengelilingi kepala Naga. Sedangkan Pengantin di gendong, diletakkan di atas bahu mengelilingi Naga dengan di payungi oleh orang tua. Setelah puas mereka menari, bermain kucing-kucingan, maka acara yang paling menegangkan adalah ketika tubuh Naga di panjat oleh oaring-orang yang kerasukan secara bergantian untuk dihancurkan. Kepala Naga di pukul-pukul hingga hancur dan tubuh Naga ambruk. Naga dihancurkan agar tidak hidup. Konon, Naga yang tidak di musnahkan, maka ia akan hidup, membuka matanya untuk mengganggu keluarga pengantin. Saat inilah acara Kepala Indaruk berakhir yang dilanjutkan dengan Mandi Bepapai. Pengantin dimandikan dengan Banyu Hadus yang telah diambil pada saat pengambilan Banyu Hadus. Kedua pengantin dimandikan dengan air kelapa menggunakan pelepah pinang yang di ukir hingga menyerupai gigi-gigi naga.
Orang-orang yang kerasukan di tepung tawari untuk memulangkan roh-roh yang merasuki mereka. Air tepung tawar terdiri dari bunga tujuh rupa, kunyit, kencur yang di campur dengan minyak nyonyong, dirajah/dipercikan kepada orang-orang yang kerasukan hingga mereka tersadar.
Nek Sainah (wawancara) menuturkan berdasarkan pengalamannya, yakni “menikah pada masa Saya ada hiburan tradisionalnya yang sekarang ini sudah tidak ada lagi di temukan yaitu Ketoprak Banjar”. Mengenai kapan orang tua Nek Sainah bermigran ke Desa Sungai Ular, Beliau mengatakan “Kakeknya H. Ibrahim dan Neneknya Hj. Diang Cantung datang ke Desa Sungai Ular karena adanya terjadi Perang Banjar di Banjar (Kalimantan Selatan), dulu mereka menyebut Kalimantan Selatan dengan sebutan Tanah Banjar. Nenek Saya datang membawa anak-anaknya yaitu Usra, Anang, Yunan, Jalani, Iran dan Ibunya Jumiah. Mengenai tahunnya, Saya tidak tahu tahun berapa mereka pindah kesini, tetapi Saya masih ingat rumah mereka dulu adanya di pinggir Sungai yang terbuat dari kayu ulin, kayu yang sangat kuat yang mereka bawa dari tanah Banjar”.
Saat ini terhitung, dari awal kedatangan Neneknya bersama orang tuanya sudah sampai generasi ke-6, tercatat dari awal kedatangan neneknya sampai cicitnya sekarang.
Beliau bercerita, awal dari kata Sungai Ular untuk Desa ini adalah “ketika itu ada ular besar di sungai sewaktu seseorang mencari kayu. Lalu ularnya di pukul hingga jatuh dan berenang mengikuti kelokan sungai yang memanjang ke arah laut. Hingga Desa ini di sebut sebagai Desa Sungai Ular”
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKebetulan kh sama wan tempat surang asal.. Sei ular-jatuh, pandawan..
BalasHapus